Kunci Jawaban Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti SMP Kelas 7 halaman 201 Ayat Yang Berhubungan Dengan Keringanan Dalam Menjalankan Ajaran Agama

masbejo.com-berikut ini Kunci Jawaban Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti SMP Kelas 7 halaman 201 Ayat Yang Berhubungan Dengan Keringanan Dalam Menjalankan Ajaran Agama.

Aktivitas 9.3

Dengan teman sekelompok, cari ayat Al-Qur’an selain Q.S. al-Baqarah/2: 286, yang berhubungan dengan keringanan dalam menjalankan ajaran agama! Ayat tersebut ditulis lengkap dengan syakal dan terjemahnya.

Jawaban:

Ayat yang berhubungan dengan keringanan dalam menjalankan ajaran agama:
1. Surat Al-Hajj Ayat 78
وَجَٰهِدُوا۟ فِى ٱللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِۦ ۚ هُوَ ٱجْتَبَىٰكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى ٱلدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ۚ مِّلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَٰهِيمَ ۚ هُوَ سَمَّىٰكُمُ ٱلْمُسْلِمِينَ مِن قَبْلُ وَفِى هَٰذَا لِيَكُونَ ٱلرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ ۚ فَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱعْتَصِمُوا۟ بِٱللَّهِ هُوَ مَوْلَىٰكُمْ ۖ فَنِعْمَ ٱلْمَوْلَىٰ وَنِعْمَ ٱلنَّصِيرُ

Arab-Latin: Wa jāhidụ fillāhi ḥaqqa jihādih, huwajtabākum wa mā ja’ala ‘alaikum fid-dīni min ḥaraj, millata abīkum ibrāhīm, huwa sammākumul-muslimīna ming qablu wa fī hāżā liyakụnar-rasụlu syahīdan ‘alaikum wa takụnụ syuhadā`a ‘alan-nāsi fa aqīmuṣ-ṣalāta wa ātuz-zakāta wa’taṣimụ billāh, huwa maulākum, fa ni’mal-maulā wa ni’man-naṣīr

Artinya: Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.

Tafsir as-Sa’di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, pakar tafsir abad 14 H

78. “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya,” maksud dari kata al-jihad, yaitu mengerahkan kemampuan untuk dapat menggenggam tujuan yang dibidik. Jihad di jalan Allah dalam artian sebenarnya, yaitu melaksanakan perintah Allah dengan sepenuhnya, menyeru sesame manusia kepada jalanNya dengan berbagai macam cara yang dapat merealisasikannya, berupa pemberian nasihat, pembelajaran, peperangan, pembinaan, pencelaan, ceramah, dan lain sebagainya. “Dia telah memilih kamu,” maksudnya Dia telah memilih kalian wahai kaum Muslimin dari kalangan umat manusia dan memilihkan agama bagi kalian serta meridhainya bagi kalian (sebagai ajaran agama). Dia juga memilihkan kitab terbaik dan utusan yang paling uatama bagi kalian. Maka, terimalah anugerah besar ini dengan menegakkan jihad di jalannya dengan sepenuh arti.
Manakala Firman Allah yang berbunyi, “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya,” mungkin ada orang yang meyangka bahwa ini merupakan bentuk taklif (pembebanan tanggung jawab) yang diluar batas kemampuan atau taklif yang memberatkan, maka Allah menyisihkannya dari anggapan itu dengan FirmanNYa, “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan,” maksudnya, suatu kepellikan dan kesulitan. Justru benar-benar meringankannya dan memudahkan dengan kemudahan yang paling puncak. Pertama : tidaklah Allah memerintahkan dan mengharuskan melainkan (pasti) sesuatu yang mudah dirasakan oleh manusia, tidak memberatkan dan menyusahkannya. Selain itu, bila muncul beberapa faktor yang mengharuskan adanya dispensasi (peringanan), maka Allah meringankan kewajiban yang Allah perintahkan, baik dengan menggugurkannya atau menggugurkan sebagiannya.
Dari ayat ini, bisa dipetik sebuah kaidah syar’i: “masyaqqah (kesulitan) mendatangkan taisir (kemudahan masalah)” dan “keadaan darurat memperbolehkan hal-hal yang yang diharankan.” Sehingga banyak hukum furu’ (cabang) (yang dikenal di dalam kitab-kitab hukum) masuk ke dalam kaidah ini.
“Agama orang tuamu, Ibrahim,” maksudnya ajaran agama yang telah disebutkan dan perintah-perintah yang tertuliskan meruppakan (hakikat) ajaran agama ayah kalian, Ibrahim yang beliau pegangi, maka tepatilah dan berpegang teguhlah dengannya. “DIa menamai kamu sekalian orang-orang Musllim dari dahulu,” maksudnya dalam kitab-kitab terdahulu, kalian telah disebutkan dan sudah dikenal masyhur. “Dan (begitu pula) dalam (al-Quran ini),” kitab ini dan aturan syariat ini. Pengertiannya, bahwa nama ini menjadi milik kalian dahulu dan sekarang ini. “Supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu,” beserta amalan-amalan kalian; baik atau buruk. “Dan supaya kalian semua menjadi saksi atas segenap manusia,” lantaran status kalian sebagai umat terbaik yang dimunculkan bagi umat manusia, umat yang wasath (pertengahan), adil lagi terpilih. Kalian bersaksi untuk mendukung para rasul bahwa mereka telah menyampaikan risalah kepada umat-umat mereka, dan bersaksi di hadapan para umat bahwa para rasul mereka telah menyampaikan ajaran agama kepada mereka, melalui berita yang Allah kabarkan kepada kalian dalam kitabNya.
“Maka dirikanlah shalat,” dengan rukun-rukun, syarat-syarat dan atuaran-aturan serta seluruh kelaziman (yang melengkapinya), “dan tunaikanlah zakat,” yang diwajibkan kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya, dalam rangka wujud rasa syukur kepada Allah atas limpahan kenikmatan kepada mereka. “Dan berpeganglah kamu pada tali Allah,” maksudnya bertahanlah denganNYa dan bertawakallah kepadaNya dalam menjalankannya, janganlah kalian berpangku pada adaya dan kekuatan kalian semata. “DIa adalah Pelindungmu,” Dzat yang menangani urusan-urusan kalian, hingga mengatur kalian dengan aturan yang bagus dan mengurusi kalian sesuai dengan ketentuan yang terbaik.
“Maka Dia-lah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong,” maksudnya sebaik-baik penguasa bagi obyek yang ditangani, sehingga terealisasikan apa yang ingin dicapai olehnya. Dan sebaik-baik Penolong bagi orang yang memohon pertolongan, hingga melenyapkan kejelekan darinya.

Baca Juga :  Kunci Jawaban PAI Kelas 4 Halaman 168 Pengayaan

2.Surat An-Nisa Ayat 101

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِى ٱلْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُوا۟ مِنَ ٱلصَّلَوٰةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱلْكَٰفِرِينَ كَانُوا۟ لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِينًا

Arab-Latin: Wa iżā ḍarabtum fil-arḍi fa laisa ‘alaikum junāḥun an taqṣurụ minaṣ-ṣalāti in khiftum ay yaftinakumullażīna kafarụ, innal-kāfirīna kānụ lakum ‘aduwwam mubīnā

Artinya: Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.

Tafsir as-Sa’di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, pakar tafsir abad 14 H

101. Dua ayat ini adalah dasar dari rukhsoh untuk mengqashar dan untuk shalat saat takut (shalat khauf), Allah berfirman, ”Dan apabila kamu bepergian di muka bumi” yaitu bersafar, lahiriyah ayat ini menunjukan keringanan untuk mengqashar shalat dalam perjalanan apa pun, walaupun perjalalnan kemaksiatan, sebagaimana yang diyakini oleh madzhab Abu Hanifah, namun berbeda dengan jumhur ulama, yaitu tiga imam selain mereka, mereka tidaklah memberlakukan adanya rukhshah pada perjalanan maksiat, sebagai pengkhususan bagi ayat ini dengan arti maupun kesesuaiannya, karena sesungguhnya rukhshah tersebut merupakan kemudahan dari Allah untuk hamba hambaNya apabila mereka bermusafir agar mereka mengqasharkan shalat dan membatalkan puasanya, dan orang pelaku maksiat dalam safarnya tidaklah pantas mendapatkan keringanan.
Dan firmanNya, “Maka tidaklah mengapa kamu mengqashar di antara shalat(mu),” maksudnya, tidak ada salahnya dan tidak ada dosanya atas kalian dalam hal tersebut, namun hal itu tidaklah meniadakan bahwa qashar tersebut adalah lebih utama, karena peniadaan dosa adalah sebuah penghapusan atas beberapa keraguan yang terjadi pada sebgian besar manusia, bahkan tidak juga meniadakan kewajiban, sebagaimana yang telah berlalu pada surat al-Baqarah pada firman Allah, “Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah sebagian dari syi’ar Allah.” (Al-Baqarah: 158).

Penghapusan keraguan dalam hal ini adlah sesuatu yang jelas sekali, karena shalat itu telah tetap bagi kaum Muslimin tentang hukumnya yang wajib dengan bentuk yang sempurna tersebut, dan tidaklah hal ini menghapus dari jiwa kebanyakan orang-orang kecuali dengan menyebutkan perkara yang meniadakannya. Perkara yang menunjukkan akan keutamaan Qashar daripada menyempurnakan ada dua hal:
Pertama, konsistennya Nabi SAW dalam mengqashar shalat pada seluruh perjalanannya,
dan kedua, bahwa hal itu adalah suatu bentuk keringanan, kemudahan, dan rahmat bagi hamba, dan Allah SWT menyukai bila keringanan dariNya itu dilakukan sebagaimana Allah SWT membenci kemaksiatan kepadaNya itu dikerjakan.

Dan FirmanNya, “Kamu mengqashar shalatmu,” dalam hal itu ada dua faidah:
Pertama, bahwa seandainya Allah berfirman “Kamu mengqashar shalatmu,” niscaya qashar tersebut tidaklah terbatasi oleh batasan tertentu, dan kemungkinan saja akan diduga oleh seseorang bahwa dengan mengqashar seluruh shalat dalam satu rakaat saja telah mencukupinya, maka Allah memakai kata dalam FirmanNya, “Diantara shalat(mu),” agar hal itu menunjukkan bahwa qashar itu tebatasi dan teratur agar hal itu menunjukkan kepada perbuatan Nabi SAW dan para sahabatnya,
dan kedua, bahwasanya kata, “min” menunjukkan pembagian agar diketahui bahwa mengqashar itu hanyalah beberapa shalat wajib saja dan bukan semuanya, karena shalat Shubuh dan Maghrib tidak diqashar, adapun yang diqashar adalah shalat-shalat yang empat rakaat saja, dari empat menjadi dua.

Dan bila telah tetap bahwa shalat qashar itu merupakan suatu keringanan dalam safar, namun ketahuilah bahwa para ahli Tafsir berbeda pendapat tentang batasan tersebut, yaitu FirmanNya, “Jika kamu takut diserang orang-orang kafir” dimana lahiriayahnya menunjukkan bahwa tidaklah qashar itu boleh dilakukan kecuali dengan adanya dua perkara secara bersamaan yaitu safar dan rasa takut. Pangkal dari perselisihan mereka adalah tentang maksud dari FirmanNya, “Kamu mengqashar” jumlah saja atau mengqashar jumlah dan sifatnya? Dan yang masalah adalah yang terjadi pada hal pertama saja, sesungguhnya hal ini telah dipermasalahkan oleh Amirul Mukminin Umar Bin Al-Khattab R.A hingga beliau bertanya tentang hal tersebut kepada Rasulullah SAW seraya berkata, “Wahai Rasulullah SAW, mengapa kita harus mengqashar shalat padhal kita sudah merasa aman?” Maksudnya, Allah telah berfirman, “Jika kamu takut diserang orang-orang kafir,” maka Rasulullah SAW bersabda “Ia adalah sebuah sedekah yang diberikan oleh Allah SWT kepada kalian, maka terimalah sedekah Allah tersebut,” atau sebagaimana yang beliau sabdakan.

Baca Juga :  Kunci Jawaban Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti SMP Kelas 7 halaman 128 Baca Q.S. al-Anbiyā’/21: 30 dan Q.S. al-A’rāf /7: 54

Atas dasar ini maka batasan tersebut disebutkan karena merupakan kondisi yang paling banyak terjadi pada Nabi SAW beserta para sahabatnya, karena kebanyakan dari pejalanan Nabi adalah perjalanan perjalanan dalam rangka jihad.
Dalam hal ini ada faidah yang lain, yaitu penjelasan tentang hikmah dan kemaslahatan dalam syariat rukhshah tersebut, Allah menjelaskan dalam ayat ini batasan perkara yang dapat dibayangkan berupa kesulitan yang sesuai untuk keringanan tersebut, yaitu bersatunya safar dengan rasa takut, namun hal itu tidaklah melazimkan untuk tidak mengqashar pada safar saja, karena safar merupakan suatu kondisi yang selalu dihadapkan dengan kesulitan. Adapun menurut bentuk yang kedua yaitu yang dimaksud dengan qashar disini adalah mengqashar bilangan dan sifatnya, karena sesungguhnya syrat tersebut sesuai dengan babnya, dan bila ditemui adanya safar dan rasa takut, maka boleh mengqashar jumlah dan sifat shalat, dan bila hanya safar saja yang ditemui, maka hanya mengqashar jumlah saja yang dibolehkan, atau bila ditemui takut saja, maka boleh mengqashar sifatnya.

3. Surat Al-Baqarah Ayat 173
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحْمَ ٱلْخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِۦ لِغَيْرِ ٱللَّهِ ۖ فَمَنِ ٱضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَآ إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Arab-Latin: Innamā ḥarrama ‘alaikumul-maitata wad-dama wa laḥmal-khinzīri wa mā uhilla bihī ligairillāh, fa maniḍṭurra gaira bāgiw wa lā ‘ādin fa lā iṡma ‘alaīh, innallāha gafụrur raḥīm

Artinya: Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Tafsir as-Sa’di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, pakar tafsir abad 14 H

173. Dan ketika Allah menyebutkan bolehnya hal-hal yang baik, Dia sebutkan juga haramnya hal-hal yang kotor, melalui FirmanNya, “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai,” yaitu binatang yang mati tanpa disembelih secara syar’i, karena bangkai itu kotor lagi berbahaya, karena kejelekan dzatnya, dan karena mayoritas bangkai itu adalah dari penyakit, sehingga menambah penyakitnya. Namun pembuat syariat mengecualikan dari keumuman tersebut, bangkai belalang dan ikan, karena kedua bangkai itu halal lagi baik.
Juga “darah” yaitu darah yang mengalir (mengucur) sebagaimana yang telah dibatasi oleh ayat yang lain, “Dan binatang yang ketika disembelih disebutkan nama selain Allah,” yakni, disembelih untuk selain Allah seperti hewan yang disembelih untuk patung, berhala dari batu, kuburan, dan sebagainya. Hal-hal yang telah disebutkan di atas tidaklah membatasi bagi hal-hal yang diharamkan. Hal-hal tersebut disebutkan dalam ayat ini hanya untuk menjelaskan jenis dari hal-hal yang kotor tersebut yang dimaksudkan dari pemahaman terbalik dalam FirmanNya, “hal-hal yang baik.” Keumuman apa-apa yang diharamkan dapat dipahami dari ayat terdahulu dari FirmanNya, “halal lagi baik” sebagaimana yang telah berlalu.
Sesungguhnya hal yang kotor itu atau yang semacamnya diharamkan untuk kita, sebagai bentuk kasih sayangNya kepada kita dan pemeliharaan diri dari hal-hal yang berbahaya.
Walaupun demikian, “barangsiapa dalam keadaan terpaksa memakannya,” maksudnya, terpaksa beralih kepada yang haram karena lapar dan tidak punya apa-apa, atau dipaksa, “sedang dia tidak menginginkannya,” yakni, tidak mencari yang haram padahal dia mampu mendapatkan yang halal atau karena tidak adanya rasa lapar, “dan tidak pula melampaui batas,” yakni kelewat batas dalam menikmati apa yang telah diharamkan tersebut karena keterpaksaan tadi, maka barangsiapa yang terpaksa dan ia tidak mampu mendapatkan yang halal dan ia makan menurut batas kebutuhan mendasar saja dan tidak lebih dari itu, “maka tidak ada dosa,” yakni kesalahan, “baginya” dan apabila dosa yang telah dihilangkan, maka perkara itu kembali kepada asal-muasalnya. Dan manusia dalam kondisi seperti ini diperintahkan untuk makan, bahkan ia dilarang untuk mencelakakan dirinya atau membunuh dirinya, maka wajiblah atasnya untuk makan, bahkan ia berdosa jika tidak makan hingga ia meninggal, yang akhirnya dia telah membunuh dirinya sendiri. Pembolehan dan keinganan ini adalah rahmat dari Allah terhadap hamba-hambaNya. Oleh karena itu Allah menutup ayat ini dengan 2 nama yang paling mulia lagi sangat sesuai tersebut, seraya berfirman, “Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.”
Ketika kehalalan itu disyaratkan dengan 2 hal tersebut dan kondisi dalam manusia seperti ini kemungkinan tidak mengerahkan segala upayanya dalam merealisasikannya, maka Allah mengabarkan bahwasanya Dia adalah maha pengampun, Dia akan mengampuninya dari kesalahan yang terjadi dalam kondisi seperti ini khususnya, yang sesungguhnya keterpaksaan itu telah mendesaknya dan kesulitan itu telah menghilangkan segala perasaannya.
Ayat ini adalah dalil untuk sebuah kaidah yang terkenal yaitu,“Kedaruratan membolehkan hal-hal yang diharamkan,”
Setiap hal yang telah diharamkan sedang manusia sangat membutuhkannya (karena darurat), maka hal itu telah diperbolehkan oleh dzat yang maha memiliki lagi maha penyayang, karena itu segala pujian hanya bagiNya dan juga rasa syukur yang pertama dan yang terakhir, yang lahir maupun yang batin.

Baca Juga :  Kunci Jawaban PAI Kelas 10 Halaman 32 Kisah Inspiratif Hikmah Kisah Manisnya Iman Sang Panglima

4. Surat Al-Baqarah Ayat 184
أَيَّامًا مَّعْدُودَٰتٍ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُۥ ۚ وَأَن تَصُومُوا۟ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Arab-Latin: Ayyāmam ma’dụdāt, fa mang kāna mingkum marīḍan au ‘alā safarin fa ‘iddatum min ayyāmin ukhar, wa ‘alallażīna yuṭīqụnahụ fidyatun ṭa’āmu miskīn, fa man taṭawwa’a khairan fa huwa khairul lah, wa an taṣụmụ khairul lakum ing kuntum ta’lamụn

Artinya: (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Tafsir as-Sa’di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, pakar tafsir abad 14 H

184. Ketika Allah menyebutkan kewajiban puasa bagi mereka, Dia mengabarkan bahwa puasa itu hanya pada hari-hari yang tertentu atau sedikit sekali dan sangat mudah, kemudian Allah memudahkan puasa itu dengan kemudahan lainnya. Dia berfirman, “Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” Pada umumnya hal itu karena adanya kesulitan, sehingga Allah memberikan kemudahan bagi keduanya untuk berbuka, dan ketika menjadi suatu keharusan untuk mewujudkan kemaslahatan puasa bagi setiap orang yang beriman, maka Allah memerintahkan kepada mereka berdua agar mengganti puasanya itu pada hari-hari yang lain apabila penyakitnya telah sembuh dan berakhirnya perjalanan dan adanya istirahat.
Dalam firmanNya, “Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain,” terkandung dalil yang menunjukkan bahwa ia harus mengganti sejumlah hari bulan Ramadan secara sempurna ataupun tidak, dan bahwa ia juga boleh mengganti hari-hari yang panjang lagi panas dengan beberapa hari yang pendek lagi sejuk seperti kebalikannya. Dan FirmanNya “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa),” maksudnya, mereka tidak mampu berpuasa, “membayar Fidyah” dari setiap hari yang mereka batalkan, “memberi makan seorang miskin.” Hal ini pada awal-awal kewajiban berpuasa ketika mereka belum terbiasa berpuasa dan saat itu kewajiban tersebut adalah suatu yang harus dilakukan oleh mereka yang akhirnya sangat berat bagi mereka untuk melakukannya. Lalu Allah Rabb Yang Maha bijaksana memberikan jalan yang paling mudah bagi mereka, Dia memberikan pilihan bagi orang yang tidak mampu berpuasa antara melakukan puasa atau itulah yang paling baik dan utama atau memberi makan.
Oleh karena itu Allah berfirman, “Dan berpuasa lebih baik bagimu,” kemudian setelah itu Allah menjadikan puasa itu harus dilakukan oleh orang yang mampu sedangkan orang yang tidak mampu, boleh berbuka lalu menggantinya pada hari yang lain. Ada juga yang berpendapat bahwa orang-orang yang tidak mampu yaitu terbebani dan merasa sangat berat sekali untuk melaksanakannya seperti orang tua yang renta dalam membayar Fidyah untuk tiap hari kepada seseorang miskin, dan inilah yang benar.

 

Demikian pembahasan Kunci Jawaban Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti SMP Kelas 7 halaman 201 Ayat Yang Berhubungan Dengan Keringanan Dalam Menjalankan Ajaran Agama. Semoga bermanfaat.