Berikut jawaban sebab-sebab dan akibat dari konflik Aceh dan Portugis. Sebelum kami uraikan contoh jawaban pada pertanyaan diatas. Kita akan ulas terlebih dahulu materi yang terkait pada pertanyaan diatas.
Laksamana Malahayati
Kerajaan Aceh punya sosok laksamana wanita bernama Keumalahayati. Keberadaan Keumalahayati tidak hanya dikenal di Indonesia tetapi juga di literatur barat (seperti Belanda, Inggris, Portugis, dan Perancis). Beliau adalah laksamana wanita pertama di dunia modern.
Konflik antara Aceh dan Portugis sudah terus berlanjut hinga akhir seperempat abad ke-17 dari abad ke-16. Pada konflik antara Aceh dan Portugis muncul tokoh-tokoh yang mempunyai peran penting untuk mempertahankan eksistensi dari Kerajaan Aceh. Di antaranya yang paling heroik ialah Keumalahayati. Keumalahayati oleh warga setempat (orang Aceh) dikenal dengan Malahayati atau Hayati.
Jika ditarik garis silsilah, Keumalahayati masih merupakan keturunan dari kalangan sultan-sultan Aceh terdahulu. Ayahnya seorang laksamana yang bernama Mahmud Syah. Kakeknya bernama Muhammad Said Syah, seorang laksamana yang juga merupakan putra Sultan Salahuddin Syah yang memerintah tahun 1530 1539 M.
Keumalahayati merupakan wanita yang mempunyai pangkat laksamana Kerajaan Aceh. Beliau memimpin armada laut Kerajaan Aceh pada masa Sultan Alaidin Riayatsyah Al Mukminul (1589-1604). Sebelum menjabat sebagai laksamana, Keumalahayati memimpin pasukan wanita. Pasukan ini terdiri dari wanita yang suaminya gugur di medan perang saat peperangan antara Aceh dan Portugis.
Pembentukan pasukan tersebut merupakan gagasan darinya agar para wanita yang suaminya gugur di medan perang dapat menuntut balas. Permohonan tersebut disetujui oleh Sultan Aceh. Pasukan wanita yang disebut Inong Bale ini mendapat pangkalan berupa benteng Kuta Inong Bale. Keumalahayati memimpin 2.000 3.500 lebih pasukan.
Lembar Aktivitas 9 Aktivitas Individu
Bagaimana sebab-sebab dan akibat dari konflik Aceh dan Portugis?
Jawaban :
Kerajaan Aceh melawan Portugis disebabkan oleh berbagai faktor antara lain:
- adanya sikap monopoli Portugis dalam masalah perdagangan di Selat Malaka.
- larangan bagi Kerajaan Aceh untuk berlayar ke Laut Merah oleh pihak Portugis.
- tindakan kapal kapal Portugis yang menangkapi kapal kapal Aceh.
Akibat dari konflik Aceh dan Portugis pada 1568, pasukan Kesultanan Aceh Darussalam menyerang Portugis di Malaka. Namun, serangan terseebut gagal lantaran kekutan militer Portugis lebih tangguh. Setahun kemudian, gantian Portugis menyerang Aceh namun dapat digagalkan pasukan Aceh.
Keumalahayati menjabat sebagai laksamana yang mengatur sejumlah pasukan laut. Tugas lainnya adalah mengawasi kapal-kapal perang (galley) milik kerajaan Aceh dan pelabuhan-pelabuhan yang berada di bawah syahbandar. Semasa Laksamana Keumalahayati, kapal perang dan pasukan gajah menjadi kekuatannya utama angkatan perang Kerajaan Aceh. Selain di pusat pemerintahan kerajaan, kapal-kapal perang tersebut juga disimpan di daerah bawahan-bawahan.
Kekuatan Keumalahayati sebagai seorang laksamana diuji ketika Kerajaan Aceh mendapat interaksi dari Belanda. Kapal Belanda yang bernama de Leeuw dan Leeuwin pada tanggal 21 Juni 1599 berlabuh di ibu kota Kerajaan Aceh. Cornelis de Houtman dan Frederick de Houtman yang merupakan dua bersaudara masing masing memimpin kedua kapal tersebut. Kapal Belanda tersebut disambut baik oleh Kerajaan Aceh. Kerajaan Aceh berharap mendapatkan kerjasama yang baik untuk perdagangan lada.
Namun, rupanya kapal Belanda tersebut hendak mengacau di Kerajaan Aceh. Laksamana Keumalahayati menggagalkan upaya Belanda tersebut. Menurut cerita, Cornelis de Houtman tewas dibunuh oleh Keumalahayati dalam duel satu lawan satu di geladak kapal. Sedangkan Frederick de Houtman menjadi tahanan Kerajaan Aceh. Di samping sebagai laksamana yang cerdas, Keumalahayati juga memegang jabatan sebagai troop commander. Jabatan lain yang dipegang adalah diplomat. Ia menjadi diplomat ulung dan bertanggung jawab atas kendali hubungan luar negeri.
Saat pembentukan pasukan armada Inong Bale, Keumalahayati pernah bersumpah di hadapan Sultan atas nama Tuhan. Ia akan berjuang melawan musuh-musuh dari Kerajaan Aceh sampai titik darah penghabisan. Keumalahayati melaksanakan sumpah tersebut hingga akhirnya gugur di medan pertempuran yang dimenangkan oleh Aceh.
Darma Wangsa (Iskandar Muda), Keumalahayati, dan pasukannya berhasil melawan Portugis dan mengusirnya dalam pertempuran di Teluk Krueng Raya. Kuemalahayati gugur dan dimakamkan di Lereng Bukit Kota Dalam, yaitu pada sebuah bukit terlarang di Desa Nelayan. Para penulis dari dunia Barat menjulukinya sebagai The Guardian of Acheh Kingdom, dan sosok Malahayati masuk ke dalam jajaran 7 Warlord Women in The World, dan juga sebagai Best Female Warrior at All Time.